
Amoeblog Honor Hari Raya atau THR merupakan insentif tambahan selain upah yang harus diserahkan majikan kepada karyawan sebelum perayaan agama tertentu.
THR umumnya disalurkan mendekati Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran.
Ternyata sejarah THR Lebaran bermula pada masa Orde Lama dan semula hanya dialokasikan untuk pamong pradja (yang kini disebut sebagai PNS).
Berikut ini sejarah THR dari masa ke masa.
Sejarah THR
Melansir indonesia.go.id, Tunjangan Hari Raya (THR) pertamakali diperkenalkan pada tahun 1951. Akan tetapi, di awal tersebut hanya pegawai pamong pradja (yang sekarang disebut PNS) yang menerimanya.
Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo lah orang pertama yang mengusulkan THR.
THR adalah komponen dari rencana kerja untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja atau pegawai negeri, yang diinisiasi oleh Kabinet Soekiman.
Program kerja tersebut melahirkan kebijakan bahwa pamong pradja mendapatkan tunjangan sebelum hari raya atau THR.
Mengutip Amoeblog , pada saat itu, besaran THR yang diberikan kepada pamong pradja sebesar Rp 125-200, diperkirakan setara dengan gaji pokok pegawai saat ini.
Kebijakan tentang pembayaranTHR yang diaplikasikan secara eksklusif untuk PNS mengundang penolakkan dari kalangan pekerja dan pegawai sektor swasta, mereka meminta perlakukan serupa.
Pada tanggal 13 Februari 1952, kelompok pekerja menggelar pemogokan untuk menekankan keinginan mereka supaya pemerintah memenuhi permintaan mereka.
Mulanya, pemerintah mengabaikan suara buruh. Bahkan, Kabinet Ali Sastroamidjojo justru mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja kepada Pegawai Negeri.
Di tengah situasi itu, federasi serikat buruh terbesar di Indonesia, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), terus berjuang meminta buruh mendapat THR sebesar satu bulan gaji.
SOBSI, organisasi yang dibentuk di akhir tahun 1940-an, mengalami pertumbuhan cepat pada dekade 1950 dan memiliki hubungan dengan PKI.
Akibat tekanan-tekanan yang tak henti-hentinya, Menteri Tenaga Kerja SM Abidin merilis Surat Edaran bernomor 3676/54 tentang "Bingkisan Idul Fitri" bagi pekerja senilai sepertujuh belas dari gaji mereka.
Pada rentang 1955-1958, pemerintah juga mengeluarkan surat-surat edaran tentang THR.
Namun, sebab bersifat hanya sebagai himbauan, surat edaran tersebut belum secara menyeluruh diikuti dan tak memberikan jaminanTHR untuk pekerja.
Tuntutan pekerja mencapai kejelasan saat Menteri Tenaga Kerja Ahem Erningpraja mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1/1961.
Aturan itu mensyaratkan bahwa "Bingkisan Idul Fitri" harus diserahkan kepada karyawan yang paling sedikit sudah berkerja selama 3 bulan.
Tiga puluh tahun setelah itu, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Pemenaker) No. 4 Tahun 1994 yang berisi tentangTHR Keagamaan bagi karyawan sektor swasta dalam perusahaan.
Aturan tersebut menetapkan bahwa pengusaha harus memberikan tunjangan hari raya (THR) kepada karyawan yang telah berkarier selama setidaknya satu bulan tanpa henti.
Jumlah Tunjangan Hari Raya (THR) yang diberikan bergantung pada durasi waktu karyawan bekerja untuk perusahaan tersebut.
Untuk karyawan yang telah bekerja selama 12 bulan berturut-turut atau lebih, mereka memiliki hak untuk menerimaTHR senilai satu bulan upah.
Bagi karyawan yang telah bekerja selama tiga bulan berturut-turut namun belum mencapai satu tahun, tunjangan hari raya dihitung berdasarkan persentase waktu kerja mereka.
Perhitungan Tunjangan Hari Raya bagi mereka adalah dengan membagi masa kerja oleh 12 kemudian mengalikannya dengan satu bulan gaji.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 5 Ayat (4) dari Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia (Permenaker) No. 6 tahun 2016 yang berkaitan dengan Tunjangan Hari Raya Agama bagi Pekerja atau Buruh dalam Perusahaan, atasan harus mentransfer THR paling telat tujuh hari sebelum perayaan agama tersebut.
Aturan tersebutlah yang dijadikan dasar hukum untuk mengenai THR pada masa kini.
0 komentar:
Posting Komentar
alangkah baiknya diisi karena tulisan anda akan memberi semangat saya