Minggu, 20 April 2025

Opini: Warga Demikan Janji yang Tertinggal

Oleh: Ernestus Holivil

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Nusa Cendana, Kupang

Amoeblog Retret atau pelatihan untuk para pemimpin daerah di Magelang, Jawa Tengah sudah selesai.

Kepala daerah sekarang sudah bersiap menjalankan tugas mereka di area tertentu guna mengurus pemerintahan serta menerapkan berbagai kebijakan yang pernah disampaikan saat pemilihan. Kini waktunya penduduk mengingati komitmennya tersebut.

Riwayat politik negara kita sudah membuktikan seberapa cepat seseorang berjanji, namun bagaimana kompleksitas mewujudkannya.

Retorika kampanye dipenuhi optimisme, tetapi realitas pemerintahan selalu dihadapkan pada kenyataan lain: kompleksitas birokrasi, tarik-menarik kepentingan politik, hingga kondisi ekonomi global yang sulit diprediksi.

Selama ini, rakyat sudah terlalu sering menjadi saksi dari janji-janji para pemimpin kita.

Tetapi seringkali tak kunjung ditepati. Harapan janji-janji itu sering berubah menjadi sekadar gema samar—terdengar nyaring saat kampanye, tetapi menghilang ketika jabatan resmi diemban.

Masalah utama kita saat ini bukanlah tentang berapa banyak janji yang dibuat oleh para pemimpin, melainkan sejauh mana mereka benar-benar bertanggung jawab dan serius dalam mewujudkannya.

Bukankan memenuhi janji merupakan aspek terpenting dari kepercayaan? Atau jangan-jangan janji hanyalah instrumen politik yang takdirnya tetap sama: mudah dinyatakan dan mudah pula dilupakan?

Politik Janji

Satu permasalahan utama yang sering kembali setelah pemilihan umum adalah adanya politik janji dengan kurangnya pertanggungjawaban. Kondisi seperti ini bukan hanya dialami oleh Indonesia, melainkan juga banyak negara-negara lain yang menjunjung tinggi demokrasi.

Politikus mengerti bahwa keinginan dan harapan masyarakat bisa dimanfaatkan saat pemilihan untuk mendapatkan suport dalam voting.

Mereka berkomitmen untuk membawa perubahan, tetapi begitu terpilih, fokus mereka umumnya berubah.

Bukan lagi kepada rakyat, melainkan kepada kepentingan elit dan kalkulasi politik yang lebih menguntungkan.

Berdasarkan data, gagalnya menjalankan komitmen dalam bidang politik tidak hanya disebabkan oleh kesalahan pribadi, tetapi juga akibat dari sistem yang mengizinkan adanya janji-janji kosong tanpa ada dampak atau hukuman.

Studi dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) mencatat bahwa di banyak negara, termasuk Indonesia, kurang dari 40 persen janji kampanye benar-benar diwujudkan.

Faktor utamanya adalah mekanisme pertanggungjawaban (accountability) yang lemah serta kuatnya intervensi oligarki dalam pengambilan keputusan.

Ketika oligarki ini mendominasi, mekanisme pertanggungjawaban menjadi lemah karena pengawasan publik dan Lembaga kontrol dapat dengan mudah ditekan.

Inilah sebabnya mengapa banyak janji kampanye tidak terealisasi—bukan hanya karena ketidakmampuan pemimpin, tetapi karena mereka harus berkompromi dengan kepentingan para pemodal dan elite yang membiayai perjalanan politik mereka.

Kondisi ini diperburuk oleh realitas politik transaksional. Partai-partai yang mengusung kandidat tidak memiliki garis ideologis yang kuat, tetapi beroperasi sebagai kendaraan pragmatis untuk kepentingan kelompok tertentu.

Begitu seorang pemimpin terpilih, ia tidakhanya berhutang janji kepada rakyat, tetapi juga kepada patron politik yang membiayai kampanyenya.

Inilah sebabnya mengapa kebijakan yang lahir pasca pemilu lebih sering mengakomodasi kepentingan elite ekonomi ketimbang menjawab kebutuhan rakyat banyak.

Janji untuk menekan harga kebutuhan pokok, misalnya, sering kali berbenturan dengan kepentingan korporasi besar yang mendominasi sektor pangan dan perdagangan.

Pada tahap ini, Teori Pilihan Publik karya James Buchanan menjadi penting. Buchanan menggarisbawahi bahwa para pelaku politik, sama seperti pemain ekonomi, berperilaku sesuai dengan kepentingan individu maupun kelompok mereka.

Janji politik hanya merupakan taktik untuk memperoleh dukungan pemilih, dan tidak semestinya menjadi kewajiban etis yang mesti dipenuhi.

Mereka menetapkan keputusan yang akan mendatangkan manfaat elektoral tertinggi atau menyegel dukungan politik, walaupun hal itu berlawanan dengan komitmennya sebelumnya.

Kelemahan dalam sistem pengawasan semakin memperparah situasinya. Di dalam sebuah demokrasi yang sehat, peran media dan masyarakat sipil sangat penting karena mereka bertindak seperti "pengawal" agar para pemimpin terus menjalankan tugas dengan baik sesuai aturan.

Akan tetapi, di negeri-negeri dimana kemerdekaan media sering kali dirasuki ancaman atau komunitas lebih condong pada ketidakpedulian, para pemimpin politik dapat leluasa untuk mengelak dari tekanan rakyat.

Pada zaman digital seperti sekarang, propagandan dan penyesuaian opini semakin menjadikan masyarakat kekurangan kemampuan untuk memikirkan secara kritis. Gambaran "penampilan" lebih banyak diterapkan daripada tinjauan yang didasarkan pada fakta mengenai prestasi pemerintahan tersebut.

Yang semakin memprihatinkan adalah adanya siklus ketidakpuasan yang berkelanjutan. Masyarakat yang merasa tidak puas bisa saja mendukung calon-calon baru dalam pemilihan selanjutnya, namun hal ini belum tentu membawa perbaikan secara menyeluruh.

Skemanya akan selalu kembali seperti itu: janji dibuat, harapan disampaikan, namun akhirnya tak ada perubahan.

Apabila politik masih diartikan sebatas pentas drama tanpa adanya proses akuntabilitas yang transparan, kian tidak relevan untuk bertanya "bisakah janji-janjinya dipercaya?", namun lebih mendesak mengingatkan diri sendiri dan sesama warga negara "sampai berapa lama kami akan terus mentolerir hal seperti ini?"

Jujur dan Terbuka

Mau tidak mau, suka tidak suka, para pemimpin terpilih harus konsisten dengan janji kampanyenya. Konsistensi ini bukan hanya sekadar tuntutan moral, tetapi juga fondasi utama kepercayaan publik terhadap pemerintahan.

Saat seseorang menepati janjinya, masyarakat pun merasakan dampak positifnya. Di sisi lain, apabila janji hanyalah omong kosong, keyakinan orang banyak pada para pemimpin tersebut dapat memudar.

Dalam konteks ini, perlu adanya kejujuran dan keterbukaan, serta membiasakan transparansi sejak awal kepemimpinan.

Rakyat harus memiliki akses untuk mengetahui apa yang sudah, sedang, dan akan dilakukan oleh pemimpinnya.

Ini bukan sekadar daftar panjang visi-misi, tetapi peta jalan yang konkret tentang bagaimana sebuah kebijakan akan diwujudkan dalam periode kepemimpinan.

Artinya, sebisa mungkin kemajuan tata kelola pemerintahan dipantau secara transparan oleh publik. Banyak negara demokrasi yang memiliki budaya politik lebih terbuka.

Masyarakat aktif mendiskusikan kebijakan pemerintah dan menagih janji melalui media, forum publik, dan diskusi akademik. Di Indonesia, inisiatif seperti ini harus diperkuat, agar kritik dan evaluasi terhadap pemimpin tidak hanya muncul menjelang pemilu, tetapi menjadi bagian dari

kesadaran politik sehari-hari.

Seorang pemimpin perlu memahami bahwa sebuah janji tak sebatas sebagai instrumen dalam ranah politik saja. Seorang politisi jangan hanya mengutarakan hal-hal yang diinginkan oleh masyarakat, melainkan mereka juga wajib menyusun kebijakan-kebijakan yang bisa dipertanggungjawabkan nantinya.

Masyarakat tak menginginkan sekadar janji, melainkan bukti nyata. Kini saatnya masyarakat menuntut kebenaran dengan menyadari bahwa demokrasi lebih dari sekedar pemilihan; itu pula soal memastikan tanggung jawab yang dipercayakan tidak dibuang-buang. (*)

Simak terus berita Amoeblogdi Google News

0 komentar:

Posting Komentar

alangkah baiknya diisi karena tulisan anda akan memberi semangat saya