Minggu, 20 April 2025

Masa Depan Diplomasi Indonesia Ada di Tangan Duta Wanita

Jakarta, IDN Times - Wanita diplomat sering kali dihakimi dengan pandangan setengah hati. Meski demikian, kontribusi wanita-diplomat sungguhlah signifikan dalam menjalankan misi diplomasi negara kita.

Diplomat wanita sering mengemukakan ide tentang pemberdayaan dan kesetaraan dengan tujuan menciptakan perdamaian dunia, serta memastikan terpenuhinya hak-hak asasi manusia. Salah satu teladan dalam hal ini adalah mantan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, yang dikenal sebagai seorang diplomat wanita kuat, bijaksana, dan menjadi role model untuk banyak orang.

Sebenarnya, menjadi diplomat itu tidaklah gampang. Walau begitu, diplomasi pada zaman modern ini harus menguasai berbagai keterampilan.

1. Diplomat adalah pekerjaan genderless

Diplomasi adalah profesi yang dapat dijalankan baik oleh pria maupun wanita, artinya tidak bergantung pada jenis kelamin. Diplomat asal Indonesia bernama Raka Pamungkas menyampaikan bahwa tugas yang dia jalani memang sangat beragam, tetapi hal yang mungkin membedakannya terjadi saat seorang diplomat harus turun membantu penduduk selama keadaan bencana alam atau konflik.

"Ada situasi yang memang lebih baik dilakukan oleh laki-laki atau perempuan saja. Tapi situasi seperti itu justru malah membutuhkan team work lintas gender dalam diplomasi," kata Raka.

Menurut dia, diplomasi merupakan sesuatu yang sebaiknya dijalankan bersama-sama oleh diplomat wanita maupun pria.

Wanita sudah berkontribusi secara signifikan dalam pengelolaan dunia global sejak penyusunannya dan penanda-tanganan Piagam PBB pada tahun 1945. Wanita memberi manfaat substansial kepada diplomatik usaha tersebut. Cara mereka memimpin, keahlian serta fokus mereka meluaskan jangkauan topik-topik yang diperdebatkan dan meningkatkan mutunya.

Penelitian PBB menyebutkan, ketika perempuan duduk di kabinet dan parlemen, mereka mengesahkan undang-undang dan kebijakan yang lebih baik bagi masyarakat biasa, lingkungan dan kohesi sosial. Memajukan langkah-langkah untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam proses perdamaian dan politik sangat penting untuk mencapai kesetaraan de facto perempuan dalam konteks diskriminasi yang mengakar.

2. Wanita dan Diplomasi Global

Wanita merupakan seorang realistis. Umumnya, norma sertastandar dunia memiliki peranan signifikan dalam menentukan acuan yang diikuti oleh komunitas internasional.

Dikutip dari indonesia.un.org, Deputi Sekretaris Jenderal PBB, Amina Mohammed mengatakan, perempuan harus ada di meja perundingan. "Kita semua harus melakukan segala hal yang mungkin untuk memastikan bahwa perempuan berada di meja perundingan, suara kami didengar, dan kontribusi kami dihargai," katanya.

Secara historis, diplomasi telah menjadi milik kaum pria. Perempuan telah memainkan peran penting dalam diplomasi selama berabad-abad, namun kontribusinya sering diabaikan. Inilah saatnya untuk mengenali dan merayakan cara-cara perempuan mendobrak batasan dan membuat perbedaan di bidang diplomasi.

Diplomat perempuan Indonesia pernah menjadi sorotan saat dengan tegas membungkap delegasi negara lain yang ingin menjatuhkan Indonesia. Pada Oktober lalu, diplomat Indonesia, Sindy Nur Fitri memberikan jawaban tegas atas pernyataan Vanuatu dalam sidang PBB. Ini menjadi bukti bahwa perempuan Indonesia mampu mengemban tugasnya sebagai diplomat andal.

3. Langkah mantap duta-duta wanita

Langkah mantap para wanita-diplomat menunjukkan kemampuan mereka dalam menjalankan tugas sebagai wakil negara secara efektif. Salah satu contohnya dapat dilihat pada Retno Marsudi.

Selama 10 tahun mengemban tugas sebagai pimpinan tertinggi di Kementerian Luar Negeri, Retno mampu membawa Kemlu menjadi salah satu kementerian yang kinerjanya paling unggul pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Pada masa jabatan awalnya, Retno mengarahkan para duta besar dalam upaya pembebasan WNI yang merupakan anggota kru kapal dan telah ditawan oleh grup Abu Sayyaf di Filipina. Sama halnya pada periode kedua belanjanya, saat itu disertai dengan munculnya pandemi Covid-19.

Rekannya mengarahkan Indonesia dalam menerima berbagai macam vaksin bagi ratusan juta warga negara Indonesia. Dia pun turut sebagai co-chair dari Kelompok Kerja Vaksinasi Multilateral COVAX AMC EG.

Lama sebelum era Retno, terdapat tiga wanita diplomat yang telah mencatatkan namanya dalam buku sejarah. Ketiganya memiliki pengaruh besar di bidang diplomasi Indonesia. Wanita-wanita tersebut ialah Maria Ullfah Soebadio, Laili Roesad, serta Supeni Pudjobuntro.

4. Kuantitas Duta Besar Wanita dari Indonesia

Raka menyatakan bahwa jumlah diplomat wanita masih di bawah diplomat pria. Akan tetapi, dalam beberapa tahun belakangan ini, penambahan diplomat wanita telah mencapai kemajuan yang cukup besar.

Menurut data dari Keluarga Kemlu Sisterhood, total jumlah diplomat wanita pada tahun 2022 telah mencapai 758 individu. Di sisi lain, jumlah pria adalah 1.091. Akan tetapi, sejak 2018, proses pengangkatan diplomat wanita secara konsisten lebih tinggi daripada yang untuk pria.

Ini dapat dipandang sebagai langkah maju bagi wanita dalam berkontribusi secara global, khususnya sebagai diplomat. Listiana Suriastuti, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Perth yang telah disumpah juga menjadi Duta Besar Indonesia untuk Bulgaria, menyebut bahwa pilihan karirnya ini berasal dari ketertarikan pada sejarah negara.

Mantan wartawan ini menyatakan bahwa penerapan utama gender adalah sebuah agenda yang terintegrasi ke dalam seluruh departemen, termasuk Kementerian Luar Negeri. Dia menjelaskan ada beberapa tantangan saat melaksanakannya, namun secara personal dia merasa telah memiliki peluang baik untuk bisa berbagalaku dan berkarya sebagai seorang diplomat wanita.

Demikian pula halnya dengan Titania Arimbi, sang diplomat wanita yang saat ini bertugas di KJRI Los Angeles. Menurut penjelasan Titania, ia sudah bercita-cita untuk menjadi diplomatis semenjak masih duduk di bangku sekolah menengah. Ia mengatakan bahwa profesi ini membawakan banyak pengalaman tak ternilai yang mungkin sulit dicapai dalam bidang lain.

Titania menyebutkan bahwa Kementerian Luar Negeri masih berupaya mengwujudkan kesetaraan gender. Menurut dia, agar tujuan itu dapat dicapai, dukungan kesetaraan gender perlu datang dari seluruh lapisan dalam hierarki organisasi, mulai dari pemimpin puncak sampai ke bagian bawahannya.

"Kesetaraan bukan hanya harus diucapkan, tetapi juga diwujudkan melalui tindakan nyata dan komitmen yang kuat," tutur Titania.

Menjadi diplomat perempuan tentu punya tantangan tersendiri. Titania yang sudah lebih dari 10 tahun berkecimpung di dunia diplomasi mengatakan, tantangan yang kerap dihadapi diplomat perempuan adalah melawan persepsi.

"Diplomat perempuan memiliki kemampuan untuk melakukan semua tugas yang juga dapat dilakukan oleh diplomat laki-laki. Namun, tantangan sering kali muncul dari persepsi, preferensi, serta faktor budaya—baik dalam lingkungan internal maupun eksternal. Misalnya, ada beberapa negara yang memiliki budaya yang kurang mendukung peran perempuan dalam diplomasi," ucapnya.

Diplomat pemula bernama Nadine Salsabila Utomo juga menyebutkan bahwa ada tantangan signifikan bagi para wanita dalam diplomasi, khususnya bagi mereka yang telah memiliki keluarga. Menurut Nadine, "Tantangan utamanya adalah saat seorang wanita di bidang diplomats harus menjalankan beberapa peran; sebagai anak, isteri, ibu serta pekerja. Hal ini tentunya membutuhkan banyak dukungan, kesabaran, dan pengorbanan agar dapat mencapai keseimbangan itu," jelas Nadine.

5. Keharmonisan para wanita dalam diplomasi

Tiga wanita diplomat ini mempunyai harapan terbagi bagi semua diplomat perempuan di Indonesia. Nadine, sang anggota termuda dari mereka berbicara, menyampaikan bahwa seorang diplomat perempuan mirip dengan peribahasa 'صندFilterWhere Butuh seluruh desa untuk mendidik seorang anak. '.

Menurut dia, dibutuhkan kerjasama antar banyak pihak guna membantu wanita dalam merintis karier sebagai diplomat selain tetap bisa menjalankan peran lain seperti istrinya, anaknya, ibunya serta diri sendiri secara individual. Dia menginginkan dukungan yang konstan bagi para diplomat wanita tersebut baik dari keluarganya, masyarakat sekitarnya ataupun tempat mereka bekerja.

Selagi Titania bertujuan untuk menghapus stigmatisasi bahwa wanita-diplomat merupakan 'opsi alternatif' dalam kondisi tertentu. Dia menjelaskan contohnya seperti adanya atasan yang bimbang memposisikan seorang diplomat wanita yang tengah hamil ataupun punya anak muda karena khawatir mereka enggak akan total dalam melaksanakan tugas di kantornya.

"Saya menginginkan adanya persamaan dalam hal jumlah waktu bekerja serta keseimbangan antara kehidupan karir dan personal yang bisa diberlakukan dengan lebih efektif, tidak hanya untuk wanita diplomat namun juga pria. Apabila konsep ini mampu dieksekusi sepenuhnya, maka setara gender di bidang diplomasi bakal menjadi semakin jelas terlihat," ungkap Titania.

Listiana juga menginginkan semakin banyak diplomat wanita yang menjadi pemimpin. Menurut dia, wanita memiliki kekuatan dan kapabilitas setara dengan pria.

"Para wanita memiliki kesetaraan dalam hal kemampuan, kebijaksanaan, serta analisis terkait isu-isu politik internasional. Banyak diplomat wanita yang telah menunjukkan kompetensinya melalui partisipasi mereka di berbagai forum diskusi dan negosiasi," jelas Listy.

Dia menginginkan agar pemuda-pemudi menjadi lebih terpikat oleh sejarah dan sains luar angkasa, serta meraih impiannya sebagai duta wanita Indonesia. Dia menambahkan, "Semoga mereka meluangkan waktu ekstra untuk membaca dan memperdalam wawasan baru, serta bersikap lebih kritis tentang masalah-masalah global yang memengaruhi kehidupan di seluruh dunia."

0 komentar:

Posting Komentar

alangkah baiknya diisi karena tulisan anda akan memberi semangat saya