Senin, 31 Maret 2025

Asal-usul Sapaan "Minal Aidzin Wal Faizin" yang Melekat di Indonesia

Amoeblog– Tiap kali Idul Fitri datang, kita mendengar saling sapa "Minal aidzin wal faizin" meresonansi ke segala sudut Nusantara, umumnya disertai dengan permintaan maaf "Mohon maaf lahir dan batin."

Kalimat ini sudah menjadi elemen yang tidak dapat dipisahkan dari peringatan Hari Raya Idul Fitri. Menariknya, kebiasaan semacam itu tidak ada di negara-negara lain.

Maka, bagaimana mula-mulanya ungkapan tersebut, serta prosesnya dalam berkembang menjadi elemen yang signifikan pada kebudayaan Idul Fitri di Indonesia?

Asal-usul dari "Minal Aidzin Wal Faizin"

Dilansir Antara , Selasa (1/4/2025), ungkapan "Minal aidzin wal faizin" dalam bahasa Arab sebetulnya tidak sering dipakai di wilayah Timur Tengah.

Ungkapan ini diyakini berasal dari kalimat yang lebih panjang, yaitu "Ja'alanallahu wa iyyakum minal 'aidin wal faizin," yang berarti "Semoga Allah menjadikan kami dan kalian termasuk orang-orang yang kembali (ke fitrah) dan menang."

Riwayat mengatakan bahwa peribahasa tersebut berhubungan dengan Pertempuran Badar, yang terjadi di tahun 624 M atau dua tahun setelah hijrah Nabi Muhammad SAW. Hal itu bersesuaian pula dengan Idul Fitri pertama dalam kalender Islam.

Selain itu, ada juga teori yang menyebutkan bahwa frasa ini berasal dari syair yang berkembang pada masa Al-Andalus (Spanyol dan Portugal saat dikuasai Muslim).

Syair itu diyakini berasal dari tangan Shafiyuddin Al-Huli dan termasuk dalam kumpulan naskah Dawawin Asy-Syi’ri al-Arabi ala Marri Al-Ushur (volume 19, halaman 182). Syair ini sering dilantunkan pada perayaan.

Pesan di sini sesuai dengan jiwa Lebaran, yaitu untuk membalikkan diri menuju kebersihan spiritual usai satu bulan menjalani puasa serta mencapai kemenangan atas pengendalian diri terhadap dorongan-dorongan naluri.

Namun, setelah diterapkan di Indonesia, ungkapan tersebut mendapat pengayaan dan berubah maknanya, menjadi lebih berkaitan dengan adat istiadat lokal.

Tradisi di Indonesia

Di Indonesia, "Minal aidzin wal faizin" umumnya disertai dengan ucapan "Mohon maaf lahir dan batin."

Padahal, ketika mengacu pada makna aslinya, kedua ungkapan ini tidak memiliki keterkaitan langsung. Di sini lah terlihat bagaimana budaya Indonesia memberi makna baru pada tradisi yang diadopsinya.

Masyarakat Indonesia tidak hanya memaknai Idulfitri sebagai kemenangan spiritual, tetapi juga sebagai momen rekonsiliasi sosial.

Lebaran menjadi waktu yang tepat untuk memperbaiki hubungan dengan orang-orang di sekitar, menjadikannya lebih dari sekadar perayaan keagamaan, juga peristiwa budaya yang besar.

Salah satu faktor yang memperkuat tradisi ini adalah fenomena mudik, berkumpul bersama keluarga besar, dan silaturahmi dari rumah ke rumah.

Dalam hal ini, berpermisi dengan kata maaf menjadi suatu kebiasaan yang mengeratkan semangat gotong royong serta kedamaian bersama.

Mintai maaf juga kerap dilakukan bukan lantaran terdapat kesalahan khusus, tetapi lebih kepada menunjukkan rasa hormat serta berupaya memelihara tali silaturahmi yang harmonis.

Perbandingan dengan negara lain

Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain, tradisi ini mencerminkan keunikannya Indonesia dalam menginterpretasikan hari raya Idul Fitri.

Di beberapa negara seperti Turki, ungkapannya biasanya menjadi "Bayramınız mübarek olsun" (Semoga hari raya Anda berkah), sementara di Pakistan dan India, orang-orang menyampaikan salam dengan kata "Eid Mubarak" (Hari Raya Sukses). Berbeda dengan tradisi di Indonesia, tidak terdapat penambahan permohonan maaf dalam ucapannya.

Di berbagai negara, perayaan Hari Raya Idul Fitri cenderung lebih pribadi dan terbatas pada keluarga inti saja. Berbeda dengan hal itu, di Indonesia, acaranya memiliki unsur sosial yang lebih mendalam.

Idul Fitri tidak sekadar tentang keberhasilan masing-masing dalam melaksanakan ibadah, namun juga keberhasilan kolektif dalam memelihara tali silaturrahmi antar sesama manusia.

Simbol kebersamaan dan rekonsiliasi

Kepercayaan tradisional ini memainkan peranan penting di tingkat masyarakat pula. Di tanah air kita, Lebaran biasanya dipakai sebagai kesempatan bagi orang-orang untuk menyelesaikan perselisihan, entah itu antar anggota rumah tangga, kolega tempat bekerja, atau bahkan pada bidang politik.

Sering kali, hubungan yang sempat memudar dapat dipulihkan berkat tradisi salam dan minta maaf yang merupakan bagian integral dari perayaan Idul Fitri.

Ini mencerminkan sejauh mana budaya Indonesia aktif dalam menyambut dan memodifikasi adat istiadat. Ketika Islam tiba di Kepulauan Nusantara, ia mendatangkan prinsip-prinsip global, sementara masyarakat Indonesia hidupkan hal tersebut secara unik, berwarna-warni, dan dipenuhi arti setempat.

Pesan "Minal aidzin wal faizin" yang dikombinasikan dengan "Mohon maaf lahir dan batin" mencerminkan nilai-nilai masyarakat Indonesia dalam memelihara hubungan baik serta persatuan di antara sesama.

Peraturan untuk menyebut "Minal Aidzin Wal Faizin"

Menurut perspektif hukum Islam, para ulama terkemuka seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al-'Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa memberikan salam di hari perayaan adalah hal yang dibolehkan dan tak ada kata spesifik yang wajib dikatakan, asalkuny atidak mengandung elemen pelanggaran.

Tetapi, melakukan perbuatan seperti berjabat tangan, berpelukan, serta menyampaikan ucapan selamat usai melaksanakan shalat Id pun diizinkan sebab hal itu termasuk ke dalam budaya, bukan suatu ibadah.

Ucapan selamat untuk perayaan bisa sangat beragam, misalnya "Selamat hari raya," "Taqobbalallahu minna wa minkum," atau bahkan "Minal aidzinwal faizin." Ucapan-ucapan ini bukan hanya dipakai saat Idulfitri saja, melainkan juga dapat diterapkan ketika merayakan Idul Adha.

Pada saat Idul Fitri yang akan datang, ketika kita menyampaikan salam "Minal aidzin wal faizin, mohon maaf lahir dan bathin," hal itu tidak hanya merupakan rutinitas verbal tetapi juga wujud konkret dalam usaha untuk merawat ikatan sosial. Pesan tersebut mencerminkan semangat harapan, persaudaraan, serta penyegaran hubungan antar sesama.

Di dalam masyarakat Indonesia, arti dari hal ini terus berkembang. Tidak hanya sekadar mereturn ke suciannya aspek spiritual pasca bulan Ramadhan, namun juga kembali pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang mengutamakan pemahaman satu sama lain, penerimaan, serta pengampunan.

"Minal aidzin wal faizin" tidak hanya sebatas perkataan, melainkan juga refleksi dari suatu budaya yang menyanjung tinggi rasa persatuan dan keseimbangan dalam menjalani hidup bersama masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar

alangkah baiknya diisi karena tulisan anda akan memberi semangat saya