Renungan Minggu ke-IV Pra Paska pada tanggal 30 Maret 2025
Oleh: RD. Fransiskus Yance Sengga, S.Fil.Lic.Th.
Dosen Teologi Liturgi dari Stipar Ende
Amoeblog Kami mengawali Minggu Prapaskah ke-IV di tahun liturgis C. Pada gereja, minggu ini dikenal sebagai Minggu Laetare. Kata "Laetare" berasal dari bahasa Latin dan memiliki arti bersuka cita atau gembira.
Kata yang sama, muncul pada awal kalimat Antifon pembuka dalam liturgi pekan tersebut yakni, “Laetare Jerusalemme et exultate in ea” yang berarti “Bersukacitalah Yerusalem dan bersorak-sorailah karenanya (Yesaya 66:10a).
Mengeksplorasi antifon ini, langsung timbul di pikiran kita pertanyaan," Mengapa kita merayakan sukacita selama masa penyesalan Prapaskah?"
Bukankah lebih baik kita tetap optimis? Terdapat dua argumen yang bisa menjadi dasar untuk merayakan hidup.
Pertama, mengingat para Kristen sudah menyelesaikan setengah dari Masa Prapaskah mereka.
Artinya usaha orang-orang yang bertakwa dalam melaksanakan puasa dan pengendalian diri (matiraga), beribadah, serta menyumbangkan sedekah atau melakukan kebaikan dapat dibilang hampir tercapai.
Kedua, ziarah tobat telah menghantar umat kristiani semakin dekat pada Hari Raya Paskah. Tinggal hanya separuh jalan menuju puncak pendakianyang menerbitkan cahaya Paskah Tuhan.
Selanjutnya, Congregasi Culto Divino dalam Litterae Circularis de Festis Paschalibus Praeprandis et Calebrandi menyatakan bahwa pada Minggu Laetare kali ini, boleh pula digunakan atribut liturgi dengan warna ungu muda (nomor 25) atau yang lebih dikenal sebagai Rosa.
Dalam perspektif tersebut, warna pink dipilih sebagai salah satu nuansa yang dicampurkan dari warna ungu dan putih.
Hal ini menjadi sebuah indikasi bahwa di antara warna ungu yang memberi ciri pada masa Prapaskah, ada warna rosa yang memberi rasa pada apa yang kelak dialami dalam misteri Paskah dengan khas warna putih.
Karena itu, sejak abad ke-11, di masa Paus Urbanus II (1088-1099), tepat di Minggu Laetare ini, muncul tradisi untuk memberi hadiah “Mawar Emas” atau “Mawar Kebajikan” kepada seseorang, lembaga, kota atau tempat ziarah yang memiliki makna penting bagi pertumbuhan iman Gereja.
“Mawar Emas” itu adalah Kristus, duri menjadi lambang derita, bunga simbol Tuhan yang bangkit. Pada masa Paus Paulus VI, anugerah ini kemudian hanya khusus diberikan untuk tempat-tempat ziarah.
Paus Fransiskus di masa kepausannya (1 Juni 2019) pernah menganugerahkan “Mawar Emas” ini untuk Basilika Perawan dari Sumuleu Ciuc di Rumania.
Masih dalam alur senada, warna khas sukacita di Minggu IV Prapaskah ini juga berkaitan dengan suasana alam bagi negara-negara dengan empat musim. Niscaya, Minggu Laetare ini jatuh pada awal musim bunga/semi.
Musim ini berada di antara musim dingin (winter) dan panas (summer). Pada musim ini, tanaman kembali bertunas dan bunga-bunga kembali bermekaran setelah diterpa hawa dingin yang dapat membuatnya kering dan mati.
Para petani mulai menyemaikan gandum yang akan ditanam dan nanti dipanen pada musim panas.
Suasana alam ini seolah menggambarkan karakter Laetare yang membawa arti tersendiri, baik dalam kehidupan sehari-hari pun terutama dalam liturgi Gereja.
Di satu sisi, umat kristiani diliputi rasa sedih, sesal, tobat, dan bermuram durjadibingkai suasana puasa dan matiraga.
Namun di sisi lain, ada juga rasa damai dan sukacita diwarnai kegembiraan Paskah yang kini sudah berada di pelupuk matanya.
Mazmur Minggu ke-IV Prapaskah Tahun C menyuarakan hal tersebut melalui nyanyian, "Cicipilah dan perhatikanlah, seberapa manisnya Tuhan" - Gustate et videte quoniam suavis est Dominus (Mzm. 34:9).
Satu dari bait lagunya Mazmur tersebut berbunyi, "Saya akan memuliakan Tuhan sepanjang waktu, pujian untukNya senantiasa terdengar di bibir saya. Sebab Tuhan lah, jiwa saya bertepuh tangan; semoga mereka yang sederhana hatinya dapat mendengarkannya dan merayakan." (Mazmu 34:2)
Menghidupkan semangat kegembiraan itu, liturgi pada kesempatan kali ini diperkaya dengan ayat-ayat kudus yang mengundang kita untuk bermeditasi.
Dalam pembacaan awal, Yosua menceritakan tentang penutup perjalanan panjang bangsa Israel menuju wilayah yang dijanjikan yaitu Kanaan.
Mereka sudah sampai dan tinggal di tanah perjanjian yang diberikan Allah kepada Abraham, ayah leluhur mereka.
Mereka mulai menjalani kehidupan baru dan normal. Hodie abstuli opprobrium Aegypti a vobis - "Mulai hari ini, kutepikan stigma Mesir dari dirimu" (Yos. 5:9a). Ini adalah ramalan Yosua yang mengonfirmasi karunia kesenangan bagi Israel karena Tuhan telah melaksanakan janji setia-Nya.
Mereka dipimpin-Nya ke tanah yang menjadi warisan nenek moyangnya. Oleh karena itu, layak bagi Israel memperingati Pesta Paskah di wilayah tersebut.
Di wilayah yang kaya akan berkah tersebut, umat Israel tak lagi bergantung pada "manna" yang diberikan Tuhan sebagai sumber makanan saat mereka masih menapaki perjalanan di padang pasir, melainkan dari produk bumi negara itu sendiri.
Pada hari ini, umat Kristiani merasakan anugerahan manna terbaru - roti kehidupan yang menjadi persediaan untuk perjalanan spiritual mereka menuju rumah Bapa.
Ziarah itu dipimpin oleh Yosua baru, yakni Kristus sendiri yang sebentar lagi kita rayakan kebangkitan-Nya yang membawa penebusan bagi kita di hari raya Paskah.
Selanjutnya, pada bagian kedua, Paulus menggambarkan kembali kesenangan tersebut dengan menyatakan bahwa orang yang berbuat dosa akan menemui kehancaran.
Kendati demikian, Allah yang Pengasih, telah mengutus Yesus Putra-Nya untuk membawa penebusan bagi yang percaya. Kesalahan, dosa, dan pelanggaran, tidak dihitung-Nya.
Untuk itu, Santo Paulus bertutur, “Quoniam quidem Deus erat in Christo mundum reconcilians sibi, non reputans illis delicta ipsorum” - “Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka” (2 Kor. 5:19a).
Ia menanti dalam kasih setiap pendosa yang bertobat dan ingin didamaikan dengan-Nya.
Penyesalan dan tobat adalah jembatan yang menghubungkan kembali manusia dengan Allah, juga sesama manusia, dan alam ciptaan.
Dengan rasa sesal dan tobat, orang-orang berdosa membuka diri untuk menerima rahmat pengampunan Bapa melalui Kristus.
Berikut merupakan poin utama dari pengajaran Alkitab Lukas pada hari ini. Keberanian Bapa mencerminkan suka cita surgawi yang dengan rela mengambil alih kerentanan manusia, yaitu ciptaan-Nya tersebut.
Kesempatan untuk menerima rahmat dan pengampunan yang datang dari kebaikan Sang Bapa, telah siap menyambut serta memeluk putra atau putrinya yang tersesat, meskipun sebelum dia bertaubat dan mengaku kesalahannya.
Yesus menggarisbawahi hal tersebut dalam perumpamaan itu dengan kata-kata-Nya, "Namun ketika masih di kejauhan, sang bapak sudah melihatnya dan tersentuh oleh belas kasihannya. Ia pun segera berlari mendekat, memeluk anaknya, dan menciumnya" - "Saat ia belum sampai dekat, ayahnya telah melihatnya dari jarak jauh, kemudian dipenuhilah hati bapa itu dengan belas kasihan. Dia langsung berlari untuk bertemu putranya, memeluknya, serta menciumnya." (Luk. 15:20b)
Gerakan sang Bapa ini merupakan wujud nyata dari pengampunan tanpa syarat atau harapan imbalan apapun. Dengan gerakan tersebut, sebenarnya Bapa sedang memulihkan posisi si pemurtadara yang hilang menjadi putra mahkota yang sangat dikasihi.
Ini terjadi sangat di luar dugaan sang anak yang hilang. Mengapa begitu?
Karena sang anak yang hilang hanya menginginkan pengakuan dari ayahnya sebagai hamba. "Non sum dignus vocari filius tuus; fac me sicut unum de mercennariis tuis" - " Jadilah aku seperti salah satu pekerja di ladanganmu" (Luk. 15:19).
Berikut adalah kabar gembira untuk mereka yang percaya: karena belas kasihan Sang Bapa, yang disertai rasa penyesalan dan pertobatan, seorang pelaku dosa tidak akan menghadapinya kehancuran melainkan mendapatkan harapan baru.
“Quia hic filius meus mortuus erat et revixit, perierat et inventus est” - Anakku telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan ditemukan kembali” (Luk. 15:24a).
Maka pantas baginya sebuah jubah terbaik tanda sukacita untuk dikenakan menggantikan jubah lama gambaran masa lalu yang kelam; sebuah cincin di jarinya, tanda kesetiaan yang dibaharui; dan sepasang sepatu pada kakinya, supaya raga dan hatinya tetap bersih dan jernih di hadapan Bapa.
Di balik sukacita ini, penginjil Lukas mengingatkan kita bahwa tidak selamanya berita gembira ini diterima oleh semua orang . Mengapa demikian?
Karena tak dimungkiri, dalam hidup masih ditemukan manusia yang tampaknya saleh namun masih terpenjara dalam gambaran hidup dan kasih yang sempit.
Ia terpenjara oleh gambaran tentang jasa dan imbalan sebagai ukuran. Karena itu, baginya, belas kasih Bapa adalah sesuatu yang irasional dan tak masuk akal sehat.
Takaran keadilan yang benar menurutnya adalah setiap pendosa harus ditolak karena tak punya jasa apa-apa. Imbalannya adalah hukuman; sesuatu yang justru tidak diinginkan Bapa.
Walaupun begitu, Sang Bapa yang murah hati terus menyambutnya kembali karena bukan hanya sebagai seorang adik, melainkan dia juga merepresentasikan kehidupan manusia—seperti halnya sang kakak—which menghadapi pengkhianatan, kesepian, dan pecah belah di dalam dirinya sendiri.
Note: "which" pada kalimat tersebut digunakan untuk memperjelas konteks antara dua klausa tanpa merubah makna aslinya dari sumber Bahasa Indonesia. Penyesuaian lain dilakukan dengan tujuan menjaga arti namun memberikan variasi baru pada teks semula.
Mereka harus diberkati dengan cinta ilahi yang tanpa memandang imbalan atau batasan apa pun.
Selanjutnya, apakah pesan penting yang dapat kita ambil dari kabar gembira pada Minggu Laetare kali ini? Sudah tiba saat kita menyelesaikan masa puasa, berdoa, serta melakukan perbuatan baik selama Perjamuan Pra-Paskah ini.
Sesaat lagi kita akan merayakan kegembiraan Paskah dalam Kristus. Cinta Yesus yang dinyatakannya lewat Jalan Salib adalah bukti kasih karunia yang sungguh-sungguh kepada kami.
Maka dari itu, kita bisa merealisasikan cinta tersebut melalui tindakan kecil namun nyata, tanpa mengharap imbalan atau kondisi tertentu, dimulai dari lingkungan keluarga serta komunitas kita sendiri.
Belajar dari kebiasaan memberikan "Mawar Keberanian" ("Mawar Ketulusan") yang dilakukan Paus setiap Minggu Laetare, serta sikap dan cara bicara Papa saat menyambut putranya yang telah lama pergi namun akhirnya kembali, seolah tidak berlebihan jika pada momen tersebut kita pun dapat membagikan mawar, tindakan penyambutan, dan gaya komunikasi yang dipenuhi dengan belas kasihan.
Yang bisa disebarkan adalah bunga mawar, tanda-tanda kasih sayang, serta cara berbicara yang rendah hati; bersedia merunduki diri dalam penyesalan dan pertobatan, mau memberikan pengampunan tanpa meminta balasan atau batas-batas tertentu sebab itu merupakan mahkota dari cintai tersebut. Lebih baik untuk sering mendengarkan dengan tenang daripada terus-menerus membicarakan hal-hal dan menyuarakan kebutuhan-kebutuhannya sendiri.
Meskipun kita perlu merasakan luka saat melaksanakan tindakan-tindakan baik tersebut, kita masih yakin bahwa rasa sakit dan lukanya akan mengarah kepada kegembiraan dan kedamaian. Mengapa demikian?
Oleh karena itu adalah belas kasih yang bisa menghapus semua kemarahan dan iri hati yang menyebabkan kita kehilangan serta lepaskan diri dari cengkeraman kasih Tuhan dan kerabat dekat kita.
Hanya dengan mawar, gestur, dan gaya tutur ini, kita dapat menemukan cinta yang hilang. Kita dapat menenun kembali cinta yang telah putus, mencairkan cinta yang tampak dingin dan beku, menghidupkan cinta yang tampak kering dan mati, bahkan membangkitkan kembali harapan yang tampak sirna.
Kita juga dapat menerbitkan kembali musim semi penuh bunga dalam rumah tangga dan komunitas kita setelah melewati kemarau panjang, kering, jenuh, dan melelahkan karena terlilit ego yang tak bertepi.
Di dalam cinta yang tulus dan belas kasihan yang ikhlas, yang hilang
dan putus asa kembali menemukan harapan baru untuk kembali.
Di titik ini, refleksi Paus Fransiskus dalam Spes Non Confundit pada Tahun Yubileum ini dapat menjadi acuan bagi kita bahwa pengharapan tidak akan pernah mengecewakan (art. 1).
Di dalam pengharapan ini, segala derita selalu diyakini menimbulkan ketekunan, ketekunan menimbulkan tahan uji, dan tahan uji menimbulkan pengharapan, dan pengharapan tidak mengecewakan karena kasih karunia Allah telah dicurahkan ke dalam hati kita melalui Roh Kudus.
"Memahami bahwa cobaan melahirkan ketabahan, ketabahan menghasilkan pengujian, dan pengujian menimbulkan harapan; harapan itu tidak menyebabkan kekecewaan karena kasih Allah telah dituangkan dalam hati kita oleh Roh Kudus." (Rom. 5:3-5)
Pada akhirnya, melalui kasih sayang, keyakinan, dan harapan tersebut, kita akan dipandu untuk mengenali kembali identitas diri sendiri, para sahabat tercinta yang nampak dekat secara fisik tetapi bisa saja menjauh di lubuk hati, serta termotivasi untuk menjaga dan melestarikan integritas dari segala sesuatu yang diciptakan.
Pada saat ini, dengan Bapa yang menyambut, memeluk, dan mencium anaknya yang hilang dan sudah kembali, kita dapat mengatakan, "Ego Te Inveni" - "Kusebut engkau ku temui". Semoga Tuhan memberkatimu. (*)
Simak terus berita Amoeblogdi Google News
0 komentar:
Posting Komentar
alangkah baiknya diisi karena tulisan anda akan memberi semangat saya